Perjalanan drama Arab mengalami pergolakan panjang dalam perkembangannya di berbagai Negara. Sedang masa kematangan drama Arab bermula pada 1930 hingga sekarang.
Sebagai genre yang paling umum, drama selalu menghadirkan sejarawan sastra dengan perpaduan beragam contoh dan isu. Bila bentuk tekstual, tingkat bahasa dan publiknya beragam seperti bahasa Arab, topiknya akan menjadi sangat kompleks.
A. Sejarah Drama dalam Sastra Arab
Pertama kali drama Arab dirintis sekitar pertengahan abad 19 di suriah. Suriah juga mencakup libanon dan palestina karena semuanya di gabungkan. Adapun orang yang pertama kali memulai drama arab yaitu (marwan an-naqos 1817-1855). Sedangkan kebudayanya bangsa italia, perancis, turki dan kebudayaan bangsa arab itu mengambil dari seni italia akan tetapi dari segi tema mereka bergantung pada drama-drama dan kebudayaan perancis. Pada tahun 1848 marwan naqos menampilkan drama di rumahnya yang terletak di Beirut dengan bantuan ahli penerjemah karya sastra drama, drama yang ditampilkan berjudul البخيل ( L’Avare) dalam drama yang ditampilkan tersebut menunjukan karakter bangsa-bangsa arab dilihat dari segi nama- nama tokohnya dan latarnya. Adapun drama yang ke dua yaitu drama komedi oleh Abu Hasan yang diambil dari karya sastra 1001 malam. Abu Hasan adalah keturunan dari kholifah Harun ar-Rosyid, dan drama yang ke tiga sekaligus drama terakhir yang menceritakan sejarah drama oleh Moliere .
Drama di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Komedi adalah cerita yang akhirnya menyenangkan
2. Tragedy adalah cerita yang akhirnya menyedihkan.
B. Fase-Fase
Sastra Arab baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre tersebut dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra Arab adalah melalui empat fase:
1. Fase Marun Nuqas al-Lubnani
Ia adalah yang meresepsi seni drama dari Italia. Yang mana baru saja kembali dari masa tinggal di Italia, mendapat izin dari penguasa Ottoman di Suriah untuk memproduksikan karya dramanya yang berjudul al-Bakhil. Sebuah drama yang terinspirasi dari karya milik Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas dari pada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
2. fase Abu Khalil al-Qubbani
Abu Khalil al-Qubbani adalah fase di Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan bahsa fusha berupa campuran antara puisi dan prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884. Sayangnya, beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup, disensor bahkan dibatalkan setelah ada keluhan dari pendirian Islam komservatif. dia pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis karya drama.
3. fase Yakkub Sannu’.
Pada masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’, populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik dengan menggunakan bahasa ammi. Pemandangan teater yang didominasi orang-orang Syria di Mesir ini semarak dan beragam. Untuk menampilkan drama-dramanya dalam dialek sehari-hari, dramawan Yahudi-Mesir Yakkub Sannu’ ini telah mengumpulkan sebuah rombongan yang menarik perhatian kadif Mesir, Ismail, yang mendorong Sannu’ untuk menghasilkan lebih banyak lagi karya.
Kelompok-kelompok penulis Siria dan Mesirpun melanjutkan penulisan karya dramanya di Mesir. Dengan demikian, masyarakat Mesirpun menemukan hiburan malamnya bisa terdiri dari sebuah drama berbasis teks yang serius berdasarkan legenda Arab yang populer, sebuah lelucon yang populer dengan nuansa politik yang kuat atau bahkan pertunjukkan opera di dalam gedung yang baru di bangun.
4. fase perkembangan pada awal abad 20.
Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil terjemahan atau resepsi, sebagian diantaranya yang diterangkan ini. Fase pertama 1910, George Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Misr al-Jadidah tulisan Farh Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Tajir al-Bunduqiyah,Athil, Macbat, dan Hamlet.
Fase kedua, adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosial. Fase ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah al-Misriyah al-Jadidah) yang begitu perhatian terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan Mahmud Taymur.
Fase keempat, mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di Perancis. Ia juga merupakan sastrawan favorit Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang telah berkuasa selama revolusi tahun 1952. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya. Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembangan modern dalam dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembangan drama barat beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya Tali’ Syajarah, dan Ta’am Likulli Famm.
Proses perubahan sosial dan politik yag luar biasa di Mesir memberikan latarbelakang yang kaya untuk mengembangkan tradisi teater yang baru dan pemerintah aparatur budaya menyediakan dana berlimpah untuk proses itu. Dalam restropeksi, dua dekade setelah 1952 telah dianggap sebagai “era keemasan” drama yang tidak hanya Mesir tapi drama Arab secara keseluruhan.
Komentar
Posting Komentar