1. AL-A’SYA BIN AL-QAISI
1.1 Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkap dari penyair ini adalah Maimun al-A’sya bin al-Qaisi bin Jundul al-Qaisyi, dilahirkan di Manfuhah dikawasan Yumamah. Ia berasal dari kabilah Bakar bin Wail yang menurut riwayat kabilah ini merupakan bagian dan kelompok di Jazirah Timur yaitu lembah sungai Eufrat sampai Yamamah. Adapun keturunan (bani) yang lebih dan banyak dikenal dari kabilah ini ialah bani Syaiban, bani Yasykur, bani Jusyam, bani I’jul yang berada di lembah sungai Eufrat, bani Hanifah, dan bani Qais bin Tsa’labah yang berada dikawasan Yamamah. Dari bani-bani tersebut, bani Qais-lah yang lebih utama, yang secara turun-temurun berlanjut kepada bani-bani lainnya. Salah satunya adalah bani Malik bin Dubai’ah dari kerabat mereka yaitu bani Jahdar dan bani Sa’ad bin Dubai’ah, dari bani-bani inilah yang kemudian merupakan asal usul (satu keturunan) dari penyair al-A’sya bin al-Qais.
Nama al-A’sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan yang lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki Abu Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai julukan “Orang yang mati kelaparan”, karena pada suatu ketika ayahnya memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija’ (sindiran) untuk ayahnya yaitu:
“Ayahmu Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh budak dari Khuma’ah”.
Khuma’ah adalah tempat kelahiran ibu dari al-A’sya. Saudara kakeknya, Musayyub bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi al-A’sya.
Para ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga penyair yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya, sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.
Puisi-puisi al-A’sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah jazirah Arab untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan. Sehingga di dalam diwan-nya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin Mundzir dan saundaranya yaitu Nu’man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia juga banyak membicarakan mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di Yaman dengan bani Abdul Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang mengenai perselisihan di antara ketiganya.
al-A’sya sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman, dan Diyar (sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan daerah Syam, Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan Hirah, ia memuji para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya ke Diyar, ia mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah diucapkannya dengan indah kepada bani ‘Amr.
Louis seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani, ia berpendapat dengan kesukaan al-A’sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi madah-nya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A’sya. Hal ini dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang puisi al-A’sya dapat dilihat dalam kitab Sy’ir was Syuara’ karya Ibnu al-Qutaibah, kitab al-Jamhara, dan kitab al-Aghany karya al-Asfahany.
1.3 Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi al-A’sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun 1928. Jayir menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa’labah pada tahun 291 H. Sebagian dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir. Jumlah kasidahnya tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah yang tidak diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun, kemungkinan besar puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa’labah. Selanjutnya Daar al-Kutub menemukan 40 bait kasidah al-A’sya yang diambil dari salinan di kantor perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh penyusun diwan-nya.
Puisi-puisi al-A’sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah yang panjang, sebagaimana yang terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan kata-kata. Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan atau kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan sesuatu, dan mengenai percintaan.
Tidak seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, al-A’sya hanya ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam pengembaraannya kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan, piring yang terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain sutera yang bermotif lukisan.
Dalam puisi madah-nya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian, kesetiaan, pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang berlaga di medan peperangan. Puisi madah-nya banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu, al-A’sya juga ditakuti akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah mendapatkan pujian darinya, maka orang itu akan enjadi terkenal.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A’sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A’sya ke rumahnya. Setelah al-A’sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A’sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A’sya seperti dibawah ini:
ارقتوماهذاالسّهادوالمؤرّق ¤ ومابىمنسقمومابىتعشّق
لعمرىقدلاحتعيونكثيرة ¤ الىضوءنارفىاليفاعتحرق
تشبّلمقرورينيصطليانها ¤ وباتعلىالنارالندىوالمحلّق
رضيعىلبانثدىأمّتقاسما ¤ باسحمداج : عوضلانتفرّق
ترىالجوديجرىظاهرافوقوجهه ¤ كمازانمتنالهندوإنىرونق
يداهيداصدق : فكفّمبيدة ¤ وكفّإذاماضنّبالمالينفق
“Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta”
“Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu”
“Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan dan malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam”
“Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu”
“Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan”
“Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma”
Di dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika al-A’sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A’sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy: “Demi Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad”. Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A’sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:
فآليتلاارثىلهامنكلالة ¤ ولامنحفىحتّىتلاقىمحمدا
متىماتناخىعندبابابنهاشم ¤ تراخىوتلقىمنفواضلهندى
نبىّيرىمالايرونوذكره ¤ اغار (لعمرى) فىالبلادوانجدا
لهصدقاتماتغبونائل ¤ وليسعطاءاليوميمنعهغدا
”Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad”
“Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah”
“Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed”
“Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok”
2. LUBAID BIN RABI’AH
2.1 Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi’ah bin Malik. Ia sering juga dijuluki Abu ‘Uqail al-’Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani ‘Amir Ibnu Sho’sho’ah, yaitu salah satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar. Ibunya berasal dari kabilah ‘Abas. Lubai dilahirkan sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang dijuluki dengan “Rabi’ al-Muqtarin”. Sedangkan sifat keberaniannya diwarisi dari kabilahnya.
Lubaid bin Rabi’ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang memiliki usia yang panjang. Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa Islam. Namun, penyair ini tetap digolongkan ke dalam penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, ia tidak mengucapkan puisi lagi kecuali hanya satu bait saja.
Dahulu, di antara kabilah Bani ‘Amir dengan kabilah Bani ‘Abas terjadi permusuhan yang sengit. Hingga akhirnya kedua utusan dari kedua kabilah tersebut dipertemukan dihadapan al-Nu’man bin al Mundzir. Dari Bani ‘Abas diantaranya ada al-Rabi’ bin Ziyad dan dari Bani Amir diantaranya ada para pendekar. Pada saat itu al Rabi’ dan al Nu’mân duduk-duduk bersama menikmati hidangan makan dan minum. Ia merasa iri dengan orang-orang dari Bani Amir, maka iapun menyebut-nyebut aib dan kekejian mereka. Maka ketika utusan dari mereka masuk menemui al-Nu’man, ia tak memperdulikannya dan memalingkan mukanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka jengkel, dan kemudian keluar dengan wajah memerah karena kemarahan. Pada saat kejadian itu, Lubaid masih kecil, sehingga ketika ia bertanya tentang siapa saja para ahli pidato dari mereka, ia pun diejeknya karena dianggap belum cukup umur. Ia begitu sangat berharap bisa bergabung dengan mereka. Iapun bersumpah akan memberi pelajaran kepada al-Rabi’ kelak nanti di hadapan al-Nu’man. Sumpahnya akhirnya terwujud, al-Nu’man akhirnya membenci al-Rabi’ dan ia tak lagi mau menemuinya serta melaknatnya. Setelah itulah, Bani ‘Amir mulai terangkat. Raja menghormati mereka dan memenuhi segala kebutuhannya. Inilah awal dari popularitas Lubaid. Ia melantunkan puisi-puisi singkat dan puisi-puisi panjangnya. Ketika puisinya dilantunkan, an-Nabighah pun mengakui bahwa Lubaid adalah seorang penyair yang paling ulung dari kalangan Kabilah Hawazin dengan usia yang masih relatif muda. Puisi yang membuat al Nâbighah terbius adalah puisi pada mu’allaqahnya yang bait pertamanya berbunyi :
عفتالديارمحلهافمقامها ¤ بمنىبأبدغولهافرجامها
“Bekas-bekas reruntuhan perkampungan itu telah lenyap, tempatnya di Mina, tanahnya rendah dan tingginya menyeramkan”
Mendengarkan puisinya itu, lalu an-Nabighah berkata:
“Pergilah hai anak, sesungguhnya kamu akan menjadi penyair suku Qais yang terkenal“.
Para ahli sastra Arab menggolongkan puisinya ke dalam kelas tinggi, yang dilihat dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan. Dalam puisinya banyak menunjukkan sifat mulia dan kemauannya yang keras dalam mencapai martabat yang tinggi. Yang paling menonjol sekali dari puisinya, ia tidak pernah mengejek atau menjelek-jelekan siapa pun, dan juga tidak pernah merendahkan diri kepada orang besar (raja atau bangsawan). Karena penyair ini tidak menjadikan puisinya sebagai modal untuk mencari kedudukan ataupun harta kekayaan seperti yang banyak dilakukan oleh penyair Jahiliyyah lainnya. Sebaliknya ia selalu membanggakan kaumnya yang selalu berusaha mendapatkan kemuliaan dalam menolong orang yang lemah.
Ketenaran penyair ini juga tidak menghalanginya untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa pada suatu hari ketika rombongan yang diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mendakwahkan Islam di Madinah, dan Lubaid mulai tertarik akan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Akan tetapi, pada saat itu ia masih belum menyatakan keislamannya. Setelah beberapa tahun kemudian barulah ia bersama rombongannya datang kepada Rasulullah Saw untuk menyatakan keislamannya, dan ia kembali pulang ke kabilahnya dan menerangkan mengenai surga, neraka, hari kebangkitan, dan mengajarkan al-Quran kepada kaumnya.
2.2 Puisi-Puisinya
Diwan Lubaid telah dikodifikasikan oleh banyak sekali para sastrawan terkenal. Sedangkan periwayatan yang ada hanyalah periwayatan dari Ali bin Abdullah al-Thusy yaitu salah seorang murid dari Ibn al-’Araby yang meninggal pada tahun 231 H/844 M.
Pada masa Umar bin al Khathab – Setelah terjadi pembukaan beberapa kota – Lubaid pergi ke Kufah. Lubaid tinggal dan hidup di sana cukup lama, sampai ajal menjemputnya pada awal masa kekhalifahan Mu’awiyyah pada tahun 41 H / 661 M. Ada yang mengatakan bahwa usianya mencapai 130 tahun. Ia termasuk salah satu pemilik mu’allaqat. Ia memiliki sebanyak kurang lebih 122 qasidah dan 1322 bait puisi.
Sebagian para ahli kesusastraan Arab menggolongkan Lubaid sebagai penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, penyair ini tidak lagi mengucapkan puisi, kecuali hanya satu bait saja, sebuah puisi yang diucapkannya ketika menyatakan diri ke dalam Islam seperti yang terdapat di bawah ini:
الحمدللهأنلميأتنىأجلى ¤ حتّىلبستمنالإسلامسربالا
“Al-Hamdulillah, ajalku tidak datang sebelum aku menjadi seorang muslim”.
Akan tetapi, sebagian ahli kesusastraan Arab yang lain menggolongkan Lubaid ke dalam penyair Islam, karena ia banyak menghasilkan puisi-puisi yang bernafaskan Islam, dan puisi-puisinya telah terpengaruh oleh ayat-ayat suci al-Quran.
Pada zaman Jahiliyyah puisi-puisinya banyak membicarakan seputar pujian (madah), mencaci atau mengejek (hija’), bahkan banyak dari puisinya yang berisikan kebanggaan terhadap kaumnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan puisi di bawah ini:
إناإذاالتقتالمجامعلميزل ¤ منالزازعظيمةجشامها
ومقسّميعطىالعشيرةحقها ¤ ومغذمرلحقوقهاهضامها
فضلاوذوكريميعينعلىالندى ¤ سمحكسوبرغائبغنامها
منمعشرسنّتلهمآباؤهم ¤ ولكلقومسنةوإمامها
لايطبعونولايبورفعالهم ¤ إذلايميلمعالهوىاحلامها
وهمالسّعاةإذاالعشيرةافظعت ¤ وهمفوارسهاوهمحكّامها
وهمربيعللمجاورفيهم ¤ والمرملاتإذاتطاولعامها
”Bila beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi mereka dalam berdebat ataupun bertanding”
“Kaumku adalah pembagi yang adil, yang memberikan hak keluarganya, dan kaumku adalah sangat pemarah kepada siapa pun yang merampas hak keluarganya”
“Kaumku menolong dengan suka rela, karena mereka suka menolong, suka memaafkan, dan suka pada suatu kemuliaan”
“Kaumku berasal dari keturunan yang suka pada kemuliaan, dan bagi setiap kaum pasti mempunyai adat dan pemimpin sendiri”
“Kaumku tidak pernah merusak kehormatannya dan tidak suka mengotori budi pekertinya, karena mereka tidak senang mengikuti hawa nafsu”
“Bila keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan membantu, merekalah pahlawan bila keluarga sedang terserang dan merekalah yang akan menundukkan musuh”
“Kaumku adalah penolong bagi siapa pun yang meminta pertolongan, dan pembantu bagi janda yang tertimpa kemalangan”
Kemudian, pada masa permulaan Islam, puisi-puisinya sudah banyak terpengaruh oleh gaya bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung ajaran-ajaran yang bernafaskan Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam, Lubaid lebih tekun mempelajari ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran, seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang menerangkan keimanannya terhadap hari kebangkitan, di bawah ini:
الاكلّشيئماخلااللهباطل ¤ وكلّنعيملامحالةزائل
وكلّأناسسوفتدخلبينهم ¤ دويهيةتصفرّمنهاالأنامل
وكلّامرئيوماسيعلمغيبه ¤ إذاكشفتعندالالهالحصائل
”Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan sirna”
“Dan pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan jari-jari”
“Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan”.
Dalam menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Nabi Muhammad Saw berkomentar dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
اصدقكلمةقالهاشاعركلمةلبيد (الاكلّشيئماخلااللهباطل)
“Sebaik-baik puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan Lubaid yang berbunyi: “Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap”.
3. UMAYAH BIN ABI ASH-SHALT
3.1 Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Abu Utsman Umayyah bin Abi ash-Shalt Abdullah ibn Abi Rabi’ah ibn Auf Ats-Tsaqafi. Ia merupakan penyair Tsaqif dan termasuk salah seorang pencari agama yang benar pada masa Jahiliyyah. Ia dibesarkan di Thaif. Ayahnya adalah seorang penyair terkenal, ia banyak belajar kepada sang ayah dalam berpuisi, untuk bekal pandangan-pandangan agama ia mencarinya kepada Ahlul Kitab.
Umayyah bin Abi ash-Shalt merupakan salah seorang yang banyak meriwayatkan berita-berita tentang orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sisa-sisa agama Ibrahim serta Ismail, berita tentang kisah penciptaan langit, bumi, malaikat, jin, syari’at para nabi dan rasul yang masih tersimpan dalam ingatan para sesepuh Arab Jahiliyyah. Ia selalu aktif beribadah dan mengenakan pakaian pengembara. Dia juga merupakan seseorang yang mengharamkan Khamr (minuman keras/arak) dan meragukan kepercayaan terhadap berhala.
Di dalam kitab-kitab yang dibacanya, ia menemukan berita gembira tentang akan diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Mendengar berita mengenai hal itu, ia pun berambisi menjadi seorang Nabi yang dimaksudkan tersebut. Hingga suatu ketika, Rasulullah Saw diutus, hati Umayyah bin Abi ash-Shalt ragu dan memendam rasa dengki dan iri, ia berusaha melawan dan mengingkari agama yang dibawa oleh beliau Saw, meskipun dia tahu bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu benar. Umayyah mengajak dan mendorong orang-orang Quraisy untuk mengingkari Nabi Saw, dan meratapi orang-orang Quraisy yang meninggal dalam perang Badar.
Nabi Muhammad Saw melarang periwayatan puisinya yang berkenaan dengan hal itu. Sehingga berkenaan dengan kejadiaan tersebut, turunkanlah ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“واتلعليهمنبأالذىآتيناهآياتنافانسلخمنهافأتبعهالشيطانفكانمنالغاوين”
“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang seseorang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab) kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu (mengingkarinya), lalu dia diikuti oleh setan-setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk golongan orang-orang yang sesat” (Al-A’raf, 7: 175).
Dan apabila Nabi Saw mendengar puisi Umayah yang berkenaan dengan tauhid, keimanan, dan pujian kepada Allah Swt, maka beliau Saw. bersabda:
آمنلسانهوكفرقلبه
“Dia beriman lidahnya, tetapi hatinya kafir”
Kebanyakan puisi-puisi pujian (madah) Umayyah bin Abi ash-Shalt pada masa Jahiliyyah dikhususkan kepada Abdullah ibn Jud’an, salah seorang bangsawan dan hartawan Quraisy, sehingga dia menempati kedudukan seperti kedudukan Zuhair bin Abi Sulma pada Haram ibn Sinan. Dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di Thaif sampai meninggal dalam kekafiran pada tahun ke-9 Hijrah.
3.2 Puisi-Puisinya
Umayyah bin Abi ash-Shalt termasuk salah seorang pembesar penyair pedesaan, meskipun dikalangan mereka sedikit sekali puisi yang beredar. Hanya saja yang membuat puisinya tercela dalam pandangan sebagaian sarjana bahasa Arab, sehingga mereka mengugurkan untuk berargumen dengan puisinya adalah karena dalam puisinya banyak menggunakan bahasa serapan dari bahasa Ibrani dan Suryani. Seakan-akan mereka mengingkari kebenaran adanya ta’rib (serapan ke dalam bahasa Arab) karena seringnya berbaur dengan orang-orang asing, meski bahasa Arabnya jelas. Sebagaimana mereka mengingkari Adi ibn Zaid karena dia banyak memasukkan kata-kata dari bahasa Persia ke dalam puisinya karena dia lama bergaul dengan mereka.
Umayyah bin Abi ash-Shalt menyebut langit (as-sama`/السماء ) dengan shooquuroh (صاقورة). Dia menyatakan bahwa bulan memiliki kulit penutup yang jika terjadi gerhana bulan ia masuk ke dalamnya, ia menamakan dengan as-saahuur (الساهور), serta ia menamakan Allah dalam puisinya dengan as-Sulthith (السلطيط), At-Taghruur (التغرور), dan sebagainya.
Puisi yang diciptakannya berbeda dengan puisi para penyair lainnya, dengan kemudahan dalam kosakatanya dan dengan menyebutkan keajaiban-keajaiban dari kisah-kisah fiksi dan legenda-legenda, penciptaan alam dan kehancurannya, keadaan akhirat, sifat-sifat Sang Pencipta dan kekhusyukan pada-Nya. Dalam menyebutkan hal tersebut Umayyah menggunakan kata-kata yang belum pernah digunakan oleh seorang penyair pun sebelumnya. Puisinya juga diselingi oleh kata-kata hikmah dan pribahasa. Diantara puisi-puisinya adalah:
الحمدللهممسانومصبحنا ¤ بالخيرصبحناربىومسانا
ربالحنيفةلمتنفدخزائنه ¤ مملوءةطبقالآفاقسلطانا
ألانبىلنامنافيخبرنا ¤ مابعدغايتنامنرأسمحيانا
وقدعلمنالوانالعلمينفعنا ¤ أنسوفتلحقأخرانابأولانا
“Segala puji milik Allah kala kita berada di saat pagi dan petang, semoga Tuhanku memberikan kebaikan pada kita pada pagi dan petang”
“Tuhan Ibrahim yang Hanif, yang tak habis-habis simpanan-Nya, memenuhi cakrawala dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas”
“Ingatlah, ada seorang Nabi diantara kita yang diangkat dari kalangan kita, lalu memberitahukan kepada kita munculnya pemimpin yang menjadi tujuan kita”
“Kami telah mengetahuii berbagai ilmu yang bermanfaat bagi kami, bahwa orang-orang yang terakhir akan mengikuti orang-orang yang terdahulu dari kami”
Dia mencela anaknya dengan mengatakan:
عذوتكمولوداومنتكيافعا ¤ تلعلبماأجنىإليكوتنهل
إذاليلةنابتكبالشجولمأبت ¤ لشكواكإلاساهراأتململ
كأنىأناالمطروقدونكبالذى ¤ طرقتبهدونىفعنىتهمل
تخافالردىنفسعليكوإننى ¤ لأعلمأنالموتحتممؤجل
فلمابلغتالسنوالغايةالتى ¤ إليهامدىماكنتفيكأؤمل
جعلتجزائىغلظةوفظاظة ¤ كأنكأنتالمنعمالمتفضل
“Pagi hari kau lahir, siang hari kau besar, semoga demikian adanya yang aku petik darimu dan yang kau reguk dari minum pertamamu”
“Ketika di suatu malam kau terluka, semalaman aku tak bias tidur, buka karena mendengar keluhannya, tetapi karena terjaga dan rasa bosan”
“Seakan-akan aku sendiri yang memukul-mukulmu dengan pukulan-pukulan yang dipukulkan padaku sehingga merasa kelelahan”
“Kau takut hal yang terburuk menimpa jiwamu, padahal sesungguhnya aku tahu bahwa sang maut pasti datang menjemput”
“Ketika kau telah mencapai usia dewasa dan mencapai tujuan, yang kau gapai sejauh kau dapat menggapainya. Aku pun tak dapat lagi mengharapkan apa-apa darimu”
“Kau jadikan balasan buatku kekasaran dan kebencian, seakan engkau sendiri yang memberikan kesenangan yang berlebihan”
Di antara puisi madah-nya (puisi yang berisikan pujian) :
عطاؤكزينلامرئقدجبوته ¤ بخيروماكلالعطاءيزين
وليسيشينلامرئبذلوجهه ¤ إليككمابعضالسؤاليشين
“Pemberianmu adalah hiasan bagi orang yang telah kau berikan kebaikan, padahal tidak setiap pemberian dapat menjadi perhiasan”
“Bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang adalah akan mengarahkan wajahnya padamu, seperti sebagian yang diminta bukanlah yang dikendaki”
Di antara puisi-puisinya yang berisikan mengenai kematian ketika datang menjemputnya adalah:
إننغفراللهمنغفرجما ¤ وأىعبدلكلاألما
“Jika Engkau berkenan mengampuni, Ya Allah Tuhanku, ampunilah semuanya, sebab hamba mana yang tiada berharap mendapat ampunan-Mu”
DAFTAR PUSTAKA
http://vanxiber.blogspot.com /2013/03/sastrawan-arab.html?m=1http://wartawanpendidikan.wordpress.com/2012/04/28/satra-arab- dari-klasik-hingga-modern
terima kasih tulisan ini sangat membantu, tapi penulisnya siapa ka ?
BalasHapus