Kiai Wahab Hasbullah
adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis, dan terbuka. Ia
bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih sehingga sering
mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam
menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu
menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari
berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah ini,
semoga dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin
menjadikan beliau sebagai teladan.
B. BIOGRAFI KIAI WAHAB HASBULLAH
§ Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak
Kiai Abdul Wahab
Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Latifah, pada Maret 1888
di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan
waktunya untuk bermain dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu.
Semenjak kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala
permainan.
§ Silsilah Keturunan
K.H. Wahab Hasbullah
berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah K.H.
Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichan.
§ Pendidikan
Masa pendidikan K.H.
Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok
pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali
pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan
pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada
tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi,
hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan
tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan
berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik
ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan
sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah
membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil
dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang
paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja,
Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’.
Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan
Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras
untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun
dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal
pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun,
Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu
pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang
pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan
Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H.
Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren
Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama
4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat
dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai
dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).
§ Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul
Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia
tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini
lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian
dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga
ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua
menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah
menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan
ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya
meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun
pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya
ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah
karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau
menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id,
seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya
bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun lagi-lagi
pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian
Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama
Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan
keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak
besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak
orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang
menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah
kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid
Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena
saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri
ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan belaiau yang
terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama
Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya,
artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau
mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad
Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).
§ Wafat
K.H. Abdul Wahab
Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul Ulama sampai akhir hayatnya.
Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar terakhir yang diikutinya. Khutbah
al-iftitah muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais Aam kemudian
diserahkan kepada K.H. Bisri Syansuri yang biasa membantunya dalam menjalankan
tugasnya sebagai Rais Aam untuk membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah
meninggalkan muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia
menderita sakit mata yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya, tepat empat
hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12 Dzulqa’idah 1391 H atau 29
Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di kediamannya, Pondok Pesantren
Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri, 2008:107).
C. PERJUANGAN
Perjuangan K.H. Abdul
Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan,
organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang
ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan
madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih
Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari
cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari
belenggu kolonial Belanda.
Menurut K.H. Muhammad
Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama
kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab
Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya
untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua
untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau
jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak
besar.
Ketika Kiai Hasyim
Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H.
Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo
Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan
pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut
dilatar belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para
santrinya melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk
menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan
tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan
waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan
yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari
tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau
dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga
disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12
orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.
Tidak kalah pentingnya
memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini
penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang
jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul
dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang
ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui
sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum
modernis anti madzhab.
Apa pun nama madrasah
di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan”
yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat
cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif
berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan
NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala
Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur
(non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan
yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI
didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober
1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya
bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan
sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan
gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah
pengetahuannya.
Beliau juga tidak dapat
membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama
bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi
sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail
Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi
ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai
Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak
serangan-serangan kaum modernis.
Selanjutnya, pada saat
pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk
Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H.
Hasyim Asy'ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon
atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan
beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi
sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari
perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Komentar
Posting Komentar